Cerita Dewasa Artis Rini Idol

Aku baru lulus kuliah beberapa hari yang lalu, belum diwisuda sih, mungkin lebih tepatnya baru lulus sidang dan tinggal nunggu wisuda. Aku orang pertama yang disidang di fakultas, sementara teman-temanku menunggu akan hari-"H"nya, aku sudah bersantai-santai. Namun tak lama aku jenuh, bosan dengan keluyuran dan foya-foya. Begitu aku mencari lowongan pekerjaan di koran, aku melihat iklan "Indonesian Idol" seluas 1/4 lembar koran.



Akupun mencoba mengikuti Indonesian Idol 2010, awalnya orangtuaku tak setuju namun aku berpikir "Aku kan sudah lulus, jadi aku harus mencari jati diriku sendiri... masa harus dituntun ortu lagi?" Aku pun lolos audisi dan mendapatkan golden ticket, yah sebenernya aku agak bangga dengan vokalku sih



Setelah lolos audisi, tenagaku benar-benar dieksploitasi habis-habisan. Boro-boro diberi latihan vokal, kami dipaksa untuk menjadi model, main di iklan IM3.... sejak IM3 mensponsori Indonesian Idol ini, kami benar-benar dikerjain



Sebentar lagi aku diwisuda, namun jadwal yang ketat dari IM3, RCTI maupun Indonesian Idol sendiri membuatku lelah dan tidak sempat untuk mengurus administrasi dll. Aku sampai stress dan kurang semangat. Malam harinya, kami dibagi menjadi grup-grup kecil. Masing masing grup dimentori oleh beberapa Idol. Yang menjadi mentor di grupku adalah Rini Idol.

Umurku lebih tua, jadi Rini juga enggan kalau aku memanggilnya mbak ataupun cici. Rini mengajarkan kami bagaimana cara memanage waktu antara urusan pribadi dengan urusan manggung. Rini juga memberikan contoh, dengan memperlihatkan jari manisnya, cincin pertunangan dengan Anji 'Drive'. Diskusi berlangsung agak lama, saat penutup Rini berkata... "kalau ada pertanyaan, langsung cari saya saja yah". Terus terang aku masih ragu-ragu sih dalam memanage waktuku, biarlah besok-besok aku ingin berkonsultasi dengannya.



3 hari kemudian aku memutuskan untuk berkonsultasi dengan Rini. Sabtu minggu depan aku akan diwisuda namun aku juga harus berada di RCTI karena siaran langsung Indonesian Idol. Aku mencari Rini kemana-mana namun tak kunjung ketemu. Aku pergi keluar studio untuk mencari batagor, menu makan siang favoritku. Si penjual batagor bertanya kepadaku, "mas, neng Rini gimana kabarnya mas?" Aku bingung dan bertanya balik, "Ane juga nyariin doi tu, emangnya kenapa bang?" "Itu loh, rencana nikahnya kan batal gara-gara calon suaminya ngaku ngehamilin Sheila," balas si abang. Aku agak kaget dan langsung membuka detikHot lewat ponselku. Rasanya aku tahu kenapa Rini gak kelihatan hari ini.



Setelah selesai makan, aku langsung bergegas ke studio lewat pintu belakang. Eh ternyata, aku melihat Rini! Akupun berlari ke arah dia. Rini memakai dress bewarna hitam-strip putih. Sepertinya aku pernah melihatnya di butik baru-baru ini

Rini berdiri membelakangiku, entah apa yang ada dipikirannya namun kami berada di tengah-tengah ruang pembuangan sampah Aku berjalan mendekatinya, kumendengar tangisannya. "Rini? di sini panas & bau loh!" sapaku, dia menoleh ke arahku, dia tersenyum kecut namun langsung lari. "Eh rin, tunggu!!" ujarku mengejarnya. Aku berlari di bawah sinar matahari yang terik dan sampah-sampah yang busuk, benar-benar lingkungan yang menyebalkan! Akhirnya kami melewati pintu keluar ruang sampah ini, kali ini aku bernafas legaaa banget, aku mengambil nafas panjang sambil berlari mengejar. Sepertinya di sini gudang inventori yang sudah tua, Rini berlari dan menaiki tumpukan kardus, aku yang memakai pantofel ini sudah pasti kesulitan menaikinya, oleh karena itu aku meloncat dengan 2 tangan dalam posisi menangkap.



Hup! Aku menangkapnya! Kardus-kardus di sekitar kami berjatuhan, pandanganku gelap dan sempit, namun kedua pipiku terasa empuk. Ternyata setengah kepalaku, dari ujung rambut sampai bawah hidung berada dalam rok Rini, kali ini "bau" juga sih, namun aku tak keberatan. Mulutku yang berada persis di bawah garis rok rini berkata "Rin, kamu kok tadi ada di tempat sampah gitu sih?" Bibirku terasa geli sewaktu bergesekan dengan roknya. "Aku buang cincinku," balasnya, "kamu sudah tau kan alasannya" Ucapnya sambil menangis, lalu tertawa. Aku terdiam sejenak. "Kamu gak papa?" ujarku, Rini tidak menjawab. "Kamu bisa berdiri?" kataku lagi sambil mencoba berdiri dalam posisi tengkurep.

Mata dan hidungku menyentuh celana dalam, pantat dan paha Rini, gesekan-gesekan itu membuat Rini mendesah sambil tertawa dan menangis.



Kepalaku akhirnya bisa keluar juga, pantatnya nongol ke atas tapi kepala Rini tepat di atas tanah, berdiri sedikit udah bisa posisi doggy nih, pikirku. "Kamu gak papa?" tanyaku lagi. Tangan Rini memukul-mukul kardus, tempat kepalanya bersandar, rasanya susah kalau berkomunikasi dengan posisi begini. Tangan kiriku memegang piggulnya, sementara tangan kananku menyentuh pahanya, lalu aku memutar tubuh Rini, kedua mata kami bertemu. "Kamu jangan cari kesempatan yah!" ujarnya sinis. "Kalau diputar lewat bahu, pasti kamu berontak hehe..." balasku, entah tak sadar suaraku diliputi nada tertawa. Rini pun tertawa, aku balas, kami berdua tertawa terbahak-bahak. "Kamu gak papa?" tanyaku sekali lagi. "Menurutmu?" balas Rini, muka Rini merah dan rambutnya memerah, rasanya terkena sinar matahari cukup lama. "Ke salon yuk, rambutmu kebanyakan kena matahari tuh, make-upmu rusak tuh," jawabku mengalihkan pembicaraan. Rini tertawa, Rini menjatuhkan badannya, tertidur merebah di kardus-kardus. "Kamu itu lucu yah, persis sama kayak cowoku dulu. Mabuk sih mabuk, tapi bisa-bisanya ngehamilin cewe lain sebelum nikah," kata Rini, dari kata-kata Rini bisa diambil kesimpulan kalau Rini masi virgin nih.



Tangan kiriku yang tadi berada di pinggulnya ternyata didudukinya, tangan kananku menarik lengannya bersamaan dengan aku mendorong tubuh Rini. Tubuhnya ringan sekali, aku memegang bagian belakang kepala Rini, lalu meletakkannya di bahuku, sayangnya kedua tangannya menghalanginya. "Sudah, sudah gak papa, sekarang kamu boleh nangis sepuasnya, kumpinjamin bahuku deeh...." ujarku sambil membelai-belai kepalanya. Rini menangis kencang, tanganku yang tadi membelai-belai kepalanya kini menekannya sekencang-kencangnya.



......



Aku menceritakan masalah wisudaku di hari Sabtu, Rini menyarankan agar aku tidak lama-lama di sana, karena semua alumni sekarang sudah tahu kalau aku ini calon superstar, memang sih aku rugi tidak bisa berfoto-foto lama-lama, Rini juga menyarankan aku untuk menyewa studio RCTI yang nantinya aku boleh mengundang teman-temanku untuk foto kelulusan memakai toga, sekalian foto perpisahan juga sih.... Kami mengobrol cukup lama, Rini duduk di sampingku namun tubuhnya merebah di dadaku.



"Kamu gak papa?" tanyaku lagi, memang rada konyol untuk menanyakan hal ini berulang-ulang. Rini tersenyum, "udah gak papa kok, makasih ya..." balasnya. Melihat senyumannya itu daguku bergetar, aku merasa kupingku memanas. Rini tertawa melihatku, "kamu belum pernah punya pengalaman sama cewek ya?" tanyanya. "Be... belum," balasku gugup, sekaligus bingung dengan arti pertanyaannya. "Hahahaha," balasnya, "Aku ini sudah banyak pengalaman lho, hahahaha." Bullshit, pikirku, sekarang aku mengerti kalau dia masih kecewa. "Hahahaha....," balasku dengan candaan, "err, tapi... apa gunanya bilang ke aku?" Senyuman Rini terhenti sejenak. "Iya benar," jawabnya sambil berdiri, ia berdiri membelakangiku, lalu menoleh dan berkata,"aku ini masih perawan." Aku memandanginya dengan senyuman. Bibirnya tersenyum kecil, wajahnya kusut seperti bajunya, dan roknya terangkat, sampai 1/5 celana dalamnya yang bewarna kuning terlihat jelas. Penisku membesar, sakit rasanya dihalangi celana jeans yang cukup tebal ini.



"Kamu kenapa?" tanya Rini, aku menjelaskannya secara detail namun dia menyentilku, kukira akan ditampar. "Sakit gak?" tanyanya. "Sakit," balasku. Aku berdiri, tangan Rini membantuku, lalu dia mengelus-elus jidatku yang disentilnya. "Bukan jidatku Rin, tapi burungku!" kataku sambil membuka resleting. Penisku menonjol keluar, melengkung ke atas. "Eeei," teriak Rini ketakutan, "Apa-apaan kamu? Tutup-tutup!". "Gak bisa lah, udah gede gini mana bisa dimasukin celana lagi" balasku "Kalau uda keras gini sih aku harus ngeluarin dulu spermanya." "Iiih," ujar RIni menjauhiku, "Ya uda pipis di ujung sana!" "Ini bukan pipis Rin, kalo pipis mah keluarnya air seni, kalo sperma sih harus sambil masturbasi dulu," balasku. "Ya uda sana-sana!" teriaknya membelakangiku, akupun berjalan mendekati ujung ruangan, menggosok-gosonk penisku ke depan-belakang, aku tahu Rini dikit-dikit menoleh ke arahku. Rini pun berusaha memanjat tumpukan kardus, namun tak ada hasilnya, terlalu tinggi buat gadis seperti dia. Aku berpura-pura mendesah sambil menjerit "Oh, shit, shit, shit..." Aku berhenti masturbasi, cuma mengeluarkan suara-suara birahi. Meskipun tidak menengok ke belakang, aku tahu Rini mondar-mandir kebingungan.



"Mau kubantuin gak?" ujar Rini, inilah yang kutunggu-tunggu. "Kamu gak papa?" tanyaku sekali lagi. "Udah sini kasi liat," balasnya buru-buru. Rini duduk berjongkok, lalu menyentuh penisku dengan jari-jari kecilnya. "Auw, sakit Rin," ujarku berbohong. "Eee, maap maap, terus aku harus ngapain nih?" ujarnya panik. Aku menyuruhnya untuk mengemut dan sedot keluar-masuk penisku, ".... terus jangan kena gigi ya," tambahku. Rini bengong, aku berkata panjang lebar agar dia tidak punya kesempatan untuk membantah. Aku memainkan penisku ke pipi Rini, "iya sabar donk!" ujarnya sambil tertawa malu. Ia mulai mencium penisku, memasukannya ke dalam mulutnya dan menjilatinya perlahan-lahan. Mulutnya bergerak maju-mundur sesuai perintahku, suara - suara erostis dicampur kecapan lidah Rini terdengar seperti nyanyian. Makin lama ia semakin cepat menyeponk-ku, namun tidak begitu cepat sih dan kurang nikmat karena tangannya masih menahannya. Dari posisi jongkok, ia merebahkan kedua kakinya, roknya terangkat dan kembali kulihat CD bewarna kuning itu. Aku melepas sepatu pantofel kiriku, kedua tanganku memegang belakang kepala Rini lalu kutekan erat-erat sambil kumaju mundurkan sementara aku menyodokkan penisku ke mulutnya sekencang-kencangnya. Goyangan tubuhku membuat bagian betisku menghantam dada Rini, kurasa cukup toge, mungkin B78 barangkali? Mulanya Rini sempat memberontak namun suaranya tak keluar lagi, kaki kiriku mengelitiki clitorisnya dengan kasar. Tak lama kemudian spermaku keluar, aku jinjit dan mengarahkan kepala Rini ke atas, kupijit-pijit dagu dan lehernya agar semua spermaku ditelannya.



Rini terbatuk-batuk dan tubuhnya lemas, aku berusaha menciumnnya namun kedua tangannya menghalngiku. Ini kesempatan bagiku, dengan gesit tanganku merebut celana dalamnya, lalu kupaksa melepaskannya sambil mengelitiki clitorisnya dengan kasar. Rini berteriak namun tidak jelas terdengar apa bunyinya, aku memainkan pahanya. Tangan kiriku menggapit celana dalamnya hingga terbentuk sebuah garis, aku menarik-narik celana dalamnya ke atas dan ke bawah, lipatan di celana dalamnya membuat vagina Rini kesakitan, iapun menjerit namun sudah tak kuhiraukan sampai akhirnya dia orgasme. Aku mencium vaginanya yang masih ditutupi celana dalam sambil menjilatinya. Kuangkat sedikit roknya dan kuraba-raba dadanya. Kini tubuhnya lemas lunglai, kakinya lemas dan tangannya sudah tidak memukul-mukuliku. Aku mengakngkat celana dalamnya yang basah itu dengan mudahnya, sampai di bagian lutut, aku melepaskan celana dalamnya dari kaki kanannya, sementara sekarang celana dalamnya yang kusut dan basah itu masih berada di betis kirinya. Aku menciumnya, dia menerimanya, lidah kami saling menjilat namun ia masih menangis. Aku mengakngkat tangan dan bahu kiri-kanannya, sekarang bajunya hanya menutupi pusarnya. Dengan tetap melakukan french kiss, aku membuka tali behanya, tubuhku makin lama makin menindihnya, aku melepaskan behanya, meremas remas dadanya. Tangan kiriku meraba-raba tubuh bagian belakang, mulai dari punggung, pinggang sampai pantat, sampai akhirnya kedua jariku mencoblos anus Rini. "Aaaww," teriaknya kesakitan. "Rin, penisku bengkak lagi nih, boleh kumasukin gak?" kataku dengan nada lantang. Rini mengangguk, kami berciuman sekali lagi, tangannya memeluk kepalaku sementara tanganku masih memainkan dada dan pantatnya, penisku memijat-mijat vagina Rini. "Udah masukin ah....," katanya sambil tersenyum. Aku melepaskan diri dari rangkulan tangannya, badanku berdiri tegak, kedua tanganku mengelus elus samping pinggul dan pantatnya. Posisi kami saling tegak lurus, sambil mendekati wajar Rini yang tegang secara perlahan-lahan, ia menyambutku dengan bibir yang siap menciumku.



"....." Aku memasukkan penisku ke dalam vaginanya secara paksa, dia kaget kesakitan. Aku mulai bergerak maju mundur. Wajah Rini nampak kesaitan, ia merintih dan hampir berteriak. Aku menciumnya, gerakan penisku berhenti sesaat, kedua tanganku menegakkan kedua kaki Rini, dengan posisi seperti ini aku bisa lebih menikmatinya. Aku melepaskan ciuman lalu mulai bergerak lagi perlahan-lahan, Rini hampir berteriak lagi, namun aku menyumbat mulutnya dengan celana dalamnya yang kuambil tadi. Aku melepaskan pakaianku, kini bergerak lebih kencang. Kulihat darah menetes, penisku terasa panas sekali, benar-benar ketat dan panas. Aku menambah kecepatan gerakku, terdengar suara cairan dan daging yang terkoyak seperti diaduk-aduk. Kedua alis Rini mengkerut, kini aku berada dalam kecepatan maksimal. Tangan kiri dan tangan kanan Rini kugengam erat-erat, kusilangkan kedua tangannya, kini tangan kirinya menggenggam lengan kanannya dan tangan kiriku menggenggam tangan kirinya, persilangan kedua tanganya itu menghimpit buah dadanya. Disertai dengan sodokanku, kedua buah dadanya naik-turun, terkesan hampir lepas. Tangan kananku menarik pantatnya agar sodokanku lebih mantab. "Rin, aku mau ngecrot nih!" jawabku sambil menyodoknya, namun Rini hanya terdengar suara "Mmm, mmm...." Aku menyodoknya lebih kencang lagi, kulepaskan kedua tangannya dan kutarik-dorong pinggulnya dengan kedua tanganku. "Rin, rin, " "Mmm...mmm" "Rinnn....." crooot.... akhirnya aku melepaskan spermaku ke dalam vaginanya, karena sangat panas sekali aku berusaha menarik penisku kembali. Agak susah karena rapet banget, aku menyodoknya keluar masuk dengan sisa tenagaku sambil terus mengecrot, akhirnya penisku berhenti ngecrot dan menyusut dan aku mengeluarkan penisku dari vaginanya. Gila, benar-benar pemandangan yang gila. Dari vaginanya yang masih rapat itu terlihat sebuah daging bewarna merah muda, lalu keluar darah yang masih terperangkap di dalam, lalu cairan bewarna putih tebal, sudah jelas itu spermaku dan lendir-lendir bewarna kekuning-kuningan, awalnya kupikir ini pipisnya tapi rasanya bukan, bodo amad ah.



Aku membuang celana dalamnya, lalu menciumnya sambil berkata "maaf ya". Ia tak menjawab namun aku tahu jawabannya dari jilatan lidahnya. Tubuhku terbaring menindihnya, kuraba dan kuremas remas buah dadanya, tanpa kusadari penisku membengkak lagi dengan cepatnya. Aku tahu dia masih lemas dan kesakitan, namun kulepaskan ciumannya, aku mengangkat paha kananya ke perutku dan betisnya di atas bahu kiriku. Cairan spermaku masih mengalir keluar dari vaginanya, kulihat wajahnya ia hanya tersenyum kecil, hampir tanpa ekspresi apa-apa. Langsung tanpa berpikir apa-apa aku menghantam lagi vaginanya, kali ini ia berteriak sekencang-kencangnya namun aku tak peduli. kugenggam erat-erat pahanya dan kusodokan maju mundur penisku, cairan-cairan di dalam vagina Rini masih bisa keluar kali ini, akhirnya aku tahu apa bedanya vagina yang masi perawan atau tidak. Aku mendekati wajahnya, bisa kubayangkan kesakitannya, sekarang penisku bergerak ke atas- dan ke bawah. Entah dari mana staminaku bisa segar kembali, Rini berkali-kali memohon ampun sampai lemas, akupun lebih kencang lagi menghantam vaginanya. Pada akhirnya kami berdua orgasme bersamaan, kali ini aku tidak mengeluarkan penisku. Tak lama kemudian ia pingsan, aku membersihkan vaginanya menggunakan celana dalamnya yang masah serta mengelap keringat dengan behanya, kuusahakan besi-besi behanya tidak menggeseknya. Lalu kurapihkan lagi bajunya, meski agak kusut, dan kuambil sticker "Indonesian Idol" yang berbentuk oval yang kutemukan di kardus-kardus. Bagian kemaluan Rini yang sudah kulap itu kusedot sedot, kukeringkan sekering keringnya. Setelah itu, kutempelkan sticker "Indonesian Indol" ke vagina Rini, memang tidak panjang namun cukup untuk menutupinya, meski pantatnya tidak muat. Kubuang beha dan celana dalam Rini, kusembunyikan diantara kardus-kardus. Aku menggendong Rini yang masih pingsan, lalu kubawa dia ke hotel tempat ia menginap. Kubawa ia melewati jalan belakang agar tak ada yang tahu, lalu melewati dapur dan lift karyawan. Kumasuki kamar hotelnya dan kuletakkan di atas tempat tidurnya. Aku mengunci pintu, mencabut kabel telpon hotel dan mematikan HP. Aku mencuci mukaku di wastafel.



Kulihat wajahnya yang tertidur pulas, kuambil stungun dari tasnya. Kulepaskan bajunya dan kusetrum stungun di vaginanya. Dia bangun terkejut. "Pagi Rini," sapaku sambil mendekatinya dengan tubuh telanjang. Aku menciumnya, ternyata ia tak sepenuhnya menolakku. Lalu aku memperkosanya sekali lagi, tidak peduli apa hari besok mau Indonesian Idol kek, mau wisuda kek, yang penting aku bisa menyetubuhi Rini sesukaku sekarang ini dan selamanya....