PRT Bahenol, Budak Seksku

Aku tinggal di sebuah perumahan di kawasan Serpong. Awalnya sih berdua dengan PRT yang aku bawa dari rumah orang tuaku, namun belakangan ibuku minta supaya PRT itu kembali ke rumahnya karena PRT yang lama mendadak mudik dan tak pernah kembali lagi. Sebagai anak, aku sih ikhlas aja, walaupun cukup repot mengurus rumah tanpa pembantu.
Akhirnya aku memutuskan untuk mencari PRT, dan dari seorang tukang jamu keliling, aku dikenalkan dengan seorang tukang jamu gendong yang ingin pensiun jualan jamu karena capek katanya dan memilih menjadi PRT, asal digaji minimal 750 ribu.
Pada hari Sabtu datanglah calon PRT itu, namanya Nurlela, usianya sekitar 30 tahun, kabarnya dia janda dengan satu anak. Wanita itu datang sendiri saja, mengenakan kaos dan celana panjang yang cukup ketat sehingga menonjolkan bagian tubuhnya, terutama bagian dada dan pantatnya. Wajahnya sih biasa saja, tipe orang Jawa yang kalem dan pemalu.
Sekilas aku sih oke saja, yang penting ada orang yang bisa bantu-bantu di rumah. Singkat cerita, Nurlela mulai bekerja di rumahku.
Seminggu berlalu, aku mulai memperhatikan dan tertarik dengan body Nurlela yang toge pasar itu. Apalagi saat dia mengepel lantai, belahan dadanya yang besar begitu menggoda dan lenggokan pantatnya yang bahenol seakan menantangku untuk menjamahnya. Maka dengan sengaja suatu waktu aku menyempatkan diri melihat jemuran underwear Nurlela sekedar untuk tahu bahwa ukuran branya adalah 36C, wuihhh... bikin ngiler aja.
Gairahku pada Nurlela semakin menjadi tatkala suatu sore ketika aku pulang kerja dia sedang mandi dan mungkin karena biasanya aku tidak pernah pulang sore, maka dia tidak menutup pintu kamar mandi. Nurlela sama sekali tak menyadari bahwa aku sudah pulang karena mobilku memang aku tinggal di kantor.
Jantungku berdegup kencang menyadari bahwa aku punya peluang melihat tubuh Nurlela bugil, dan memang, tatkala aku melewati pintu kamar mandi, dengan jelas kulihat tubuh bugil Nurlela yang membuat kejantananku berkobar. Bodynya benar-benar bahenol dan padat. Buah dadanya yang besar tampak masih sangat kencang dan demikian pula dengan pantatnya yang besar. Ingin rasanya aku melabrak masuk ke kamar mandi dan menerkam tubuh bahenol itu, namun aku cukup bersabar. Aku takut dia teriak dan malah jadi berabe.
Malam harinya, aku memanggilnya untuk mengobrol.
“Mbak Nur, katanya punya anak ya? Umur berapa”, tanyaku.
“Iya Mas, umur 3 tahun, tinggak di kampung sama neneknya”, jawabnya.
“Wah, masih kecil ya, pasti masih butuh susu”, celotehku nakal sambil melirik buah dadanya yang super itu.
“Iya Mas, makanya saya kerja di sini, semua buat anak saya”, jawab Nurlela lugu tanpa sadar mataku dengan nakal memandangi buah melonnya penuh nafsu.
“Kamu kan saya gaji 750 ribu, mau enggak saya tambahin 250 ribu untuk uang susu anak kamu?”, sebuah pertanyaan yang mengundang tanda tanya.
“Wahh... kalau memang boleh sih, tentu mau Mas”, wajah kemayu Nurlela semeringah. Dia tak sadar bahwa tawaranku pasti “ada udang di balik kutang”.
“Saya siap, ini uangnya”, kataku sambil menunjukkan uang 100 ribuan sebanyak sepuluh lembar.
“Besok kamu kan gajian, saya bisa kasih 1 juta, hanya ada syaratnya”, aku mulai tak kuasa menahan diri.
“Syarat apa Mas?”, tanya Nurlela yang mulai agak sadar pada maksudku.
“Hmmm... saya kasih uang susu buat anak Mbak, tapi saya minta susu dari Mbak”, aku langsung menembak.
“Ihhh... Mas nakal sih”, Nurlela tampak malu, wajahnya menunduk. Kesempatanku meraba tubuhnya.
“Ihhh... jangan Mas...”, ia tampak sangat jengah dan berusahan menolak tanganku. Tapi aku sudah sangat paham bahasa tubuh wanita yang benar2x menolak dengan tolakan yang basa-basi. Jelas tolakan Nurlela adalah basai-basi. Mana mungkin dia menolak diriku, seorang pria mapan yang usianya lebih muda darinya, dan menjanjikan tambahan uang baginya. Sementara dia adalah seorang janda yang tentu saja haus belaian dan butuh uang.
“Ini uangnya, simpan sana”, kataku seraya menyerahkan uang satu juta pada Nurlela,”Tapi kembali lagi ke sini ya, saya mau minum susu”.
“Ihh.... Mas...”, Nurlela masih malu, namun uang itu segera disambarnya dan dengan muka masih tersenyum wanita bahenol itu masuk ke kamarnya.
Aku tak perlu menunggu lama, wanita itu kembali lagi dengan wajah masih malu-malu.
“Sini... duduk dekat saya”, ajakku.
Nurlela merapatkan tubuhnya di sampingku. Aku yang sudah birahi langsung meletakkan tanganku di atas buah dadanya.
“Besar sekali susunya Mbak... boleh saya buka ya..”pintaku. Tanpa menunggu jawaban dari Nurlela, tanganku sudah meremas payudaranya yang besar itu.
Nurlela yang sudah lama menjanda itu tentu saja seperti orang haus yang diberi segelas air dingin. Wanita desa itu dengan wajah pasrah bercampur harap menyerahkan tubuh montoknya padaku. Daster batik yang dikenakannya dalam sekejap sudah terpapar di lantai. Tubuh montoknya hanya dibungkus bra dan cd murahan yang sudah tipis dan kendor. Buah dadanya dengan sombong menyembulkan puting susu coklat ditepi bra kendornya itu, sementara warna hitam jembutnya terbayang di calik CD tipisnya yang sudah usang.
Aku merogoh dompetku dan memberikan dua lembar uang ratusan ribu pada Nurlela.
“Mbak Nur, ini saya kasih tambahan, buat beli celana dalam dan beha baru ya... hi3x....”, candaku sambil menyerahkan uang itu pada Nurlela.
“Wah... makasih banyak Mas...”, katanya malu”, iya nih udah pada jelek, buka aja ya...”
Dalam sekejap tangan-tangan Nurlela melepas bra dan cdnya sehingga tubuh montoknya berbugil ria dihadapanku.
Aku segera menyerbunya. Kupeluk, kuraba dan kuremas-remas seluruh lekuk tubuhnya. Tanganku seakan tak bosan-bosan meremas-remas buah dadanya yang sebesar pepaya itu, juga bongkah pantatnya yang besar.
“Ihh.... isep terus Maas...”, jerit Nurlela kegirangan tatkala puting susunya kuhisap dan kukulum-kulum.
“Yang satunya dong... iseppp... yang kenceng...”, pintanya ketagihan.
Sambil menghisap puting yang satu, tanganku yang lain memainkan puting buah dada sebelahnya dan tanganku lainnya asyik meremas-remas pantatnya sampai daerah selangkangan.
“Aduhhhh Masss....enak banget... memek saya udah basahhhh...”,Nurlela terus menjerit dan mendesah.
Sadar bahwa Nurlela bakalan orgasme duluan karena sudah lama dia tidak disentuh laki-laki, aku justru meraba-raba vaginanya dan kudapati kalau liang senggamanya memang sudah becek.
Sambil terus mengulum puting susu, tanganku sibuk memijat klitoris Nurlela sehingga wanita itu makin melejat-lejat dibakar birahi dan akhirnya meledak tatkala jariku menelusup masuk liang vaginanya.
“Aduhhhh... gak tahan Mas.... saya puassss....”, jeritnya”, Ohhhh.... enak bangetttt”.
Tubuh montok itu menggelinjang menikmati rasa orgasme yang sudah lama tidak dirasakannya.
“ohh... maaf ya Mas...”, katanya merasa tidak enak padaku.
“Enggak apa, yang penting masih bisa dipakai kan?” candaku.
“Masih dong Mas... habis Mas belum buka baju sih, mana kontolnya Mas...”, pintanya jorok sambil berupaya menelanjangiku.
Dengan cekatan dia membuka celana panjangku dan sekaligus celana dalamku.
“Woow... gede juga nih kontolnya...”, puji Nurlela.
“Emut dong... jilatin kontol saya”, pintaku dan segera diiyakan oleh Nurlela. Tanpa canggung lagi, Nurlela memasukkan penisku ke mulutnya dan disedot-sedot penuh nafsu.
“Mbak.... saya mau keluar di memek aja”, pintaku”, ayo dong nungging”.
Nurlela yang kini menjadi budak seksku tentu menuruti semua kataku. Dia menungging dan menghadapkan pantat bahenolnya padaku, membuatku semakin bernafsu menyerang vaginanya dari belakang.
Tak sulit memasuki vagina wanita anak satu yang sudah becek ini, penisku dengan penuh semangat memompa vaginanya, maju mundur, keluar masuk.
“Entot terusss.... ohhh... enak banget...”, jerit Nurlela keenakan. Setiap erangan dan kata jorok dari mulutnya justru menambah panas birahiku. Sampai saatnya aku mengocok dengan cepat vaginanya.
“Sebentar lagi saya keluar ya....keluarin di dalama aja ya...”, pintaku.
“Iya Mas... silahkan... ayo.... saya juga mau puas lagi nih...”, jerit Nurlela.
Ternyata Nurlela orgasme lebih dahulu dan lejatan dinding vaginanya mendorong penisku juga menyemprotkan sperma hangat ke rahimnya.
“Okkhhhh.... asyiikkk... saya semprot ya...” seruku.
“Iyaa..... semprot Mas... memek saya endut-endutan...”jawab Nurlela.
Sesaat sesudah orgasme nan nikmat itu kami berpelukan dan dengan refleks aku mencium bibirnya.
“Terima kasih ya...”, kataku. Nurlela sangat terkejut bercampur senang dengan ciumanku itu.
“Saya... saya yang terima kasih Mas...” serunya dengan wajah mesum,”Kapanpun Mas mau... saya siap”.
Aku pergi meninggalkan tubuh Nurlela yang telanjang dan masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan pergi tidur. Pagi harinya, ketika bangun aku langsung mencari Nurlela yang sedang masak sarapan di dapur dan aku langsung menubruknya.
“Mbak... lagi yuukk...”, seruku penuh nafsu menyadari Nurlela sudah mandi.
“Hi3x... saya tahu Mas pasti pingin lagi, saya gak pake daleman nih...”, serunya.
Aku terkejut dan senang meraba dadanya yang no bra itu dan juga mengangkat dasternya menemukan selangkangan berbulu lebat yang tak dibungkus CD.
Dalam sekejap, adegan seks kami berlangsung seru dan berakhir 1-1 dengan posisi doggy style di pinggir meja dapur.
Sejak saat itu Nurlela bekerja ganda, sebagai PRT dan juga budak seksku. Kapanpun aku mau, dia menyediakan tubuh montoknya. Akupun tanpa perhitungan mengeluarkan uang untuk memelihara aset Nurlela. Setiap bulan aku memberikan uang khusus untuk ke salon, biaya lulur dan spa vagina, sehingga mekipun PRT, tapi kulitnya halus dan vaginanya wangi. Hmmm....
TAMAT